Halaman

Jumat, 18 Mei 2012

to avoid arbitrary

beberapa hari lalu aku habiskan waktuku diperpustakaan dgn frekwensi lebay, oya jangan kalian pikir aku kutu buku ya... sebenarnya aku gak ikhlas....  klo gak karena nyari inspirasi tesis....

tiba - tiba aku tertarik baca sebuat handbook, tebel bgt, oya skali lagi jangan pikir juga itu aku jago bahasa inggris, coz kalian tau handbook kelas dunia tu biasanya bahasa inggrisnya mudah difahami (ini fakta), tapi kemarin aku baca yang terjemahan sih jadi ya ga begitu ngefek...hahahahaha (ndazmu 'i)

oke...
aku temuin buku karya A.V Dicey yang berjudul Introduction to the Study of the Law of the Constitution, bagian I tentang kedaulatan parlemen, yang mana dalam buku ini banyak membahas mengenai parlemen dalam konstitusi Inggris di abad ke 17-18. Terjadi suatu permasalahan mengenai kedaulatan parlemen yang tanpa batas. konstitusi Inggris,yang terdiri dari raja dan ningrat, memiliki hak untuk membuat atau membatalkan hukum apapun, dan lebih jauh lagi, bahwa tidak ada orang atau lembaga yang diakui hukum Inggris yang berhak untuk membatalkan atau mengesampingkan legislasi parlemen.

apa yang menarik? klo buatku sih... hal ini mengingatkan pada sebuah rezim yang berkuasa dari zaman mbah kakung-ku ngublek2 surat dakwaan sampai ayahku diwajibkan untuk ikut kampanye partai wajib "PNS".

2 senjata yang membuat kekuasaan orde itu tidak terbendung adalah (Samuel Gultom, 2003:15), penerapan pasal anti-subversi (apa itu subversi tanyakan saja pd mbah google yg bergoyang) dan korporatisasi hakim, di posting ini aku mau bahas koorporatisasi hakim...

pada masa ini gak ada tu yang namanya judical review MK kyk skarang ini, artinya hakim/juris disini hanya berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari birokrat(eksekutif) dan konstitusi (legislatif) dalam menertibkan rayat. Sebenarnya ada sih saat itu kewenangan itu buat MA, di pasal 26 UU 14 tahun 1970, MA berhak buat menguji peraturan - peraturan dibawah UU (walau mungkin skarang juga masih).
itu aja kewenangan yudisial? ya... itu aja... UU produk DPR, MA = peraturan dibawah UU, artinya secara politis yudisial dibawah legislatif.


nah bedanya mulai 2001 ada Mahkamah Konstitusi, lembaga ini bisa membatalkan UU yang bertentangan sama UUD atau suara hati rakyat, artinya tu 550 bapak2-ibu2 yang cerdas2, baik2, yang ada di senayan tu ga bisa seenak2nya aja bikin peraturan atau bakal dibatalin sama 9 naga eh maksudnya 9 hakim konstitusi.
bahkan MK bisa ngluarin putusan yang sifatnya ultra petita? nah tu apalagi tu? artinya hakim bisa memutus perkara lebih dari yang digugat, sebagai contoh dulu 2009, pas pemilu hakim MK mengabulkan gugatan pasal mengenai DPT, gak cukup membatalkan pasal aja tapi MK juga menyatakan KTP bisa jadi alat buat berpartisipasi dalam pemilu. nah gtu kok DPR mau menghapus kewenangan MK buat ultra petita? mau nunggu DPR ngesahin UU dulu? kelamaan bray!!!

ya pada intinya emang harus ada keseimbangan antara legislatif, eksekutif, dan yudisial. Juga dalam kehidupan sehari2, harus seimbang antara kewenangan cowok dan cewek, jangan si cowok harus nurutin si cewek yang otoriter terus, ato si cowok tu pasrah2 aja pas tau ceweknya jalan ma cowok lain dengan alasan takut diputusin. Perlu ada ketegasan klo perlu pembalasan dendam sebagai "pemidanaan". hahahahaha,
hidup akan indah jika semua berjalan dengan berimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar